
Masalah pengangguran di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh kurangnya lapangan kerja, tetapi juga dipengaruhi oleh persoalan mendasar yang dikenal sebagai pengangguran struktural. Inilah jenis pengangguran yang terjadi ketika terjadi ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan dunia kerja, atau ketika struktur ekonomi berubah namun kemampuan tenaga kerja tidak ikut menyesuaikan.
Dalam konteks ini, dua tokoh nasional yang berasal dari latar belakang berbeda—Shinta Kamdani, Ketua Umum Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), dan Anies Baswedan, tokoh kebijakan publik dan mantan gubernur—secara garis besar memiliki kesamaan pandangan bahwa pengangguran di Indonesia adalah persoalan struktural yang memerlukan intervensi serius dan sistemik.
Pengangguran struktural terjadi ketika perkembangan sektor industri tidak sejalan dengan ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang tepat. Contohnya:
Akibatnya, meskipun lowongan kerja tersedia, banyak orang tetap menganggur karena tidak memenuhi kualifikasi.
Dari sudut pandang pelaku usaha, Shinta Kamdani menggarisbawahi bahwa pengangguran di Indonesia tidak semata karena kurangnya lapangan kerja, tetapi karena mismatch antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan industri. Ia menyatakan bahwa kurikulum pendidikan belum sepenuhnya mengikuti perkembangan pasar kerja modern.
Menurutnya, struktur ekonomi yang terus bergerak menuju era digital, manufaktur berbasis teknologi, dan ekonomi hijau menuntut tenaga kerja yang adaptif. Namun, sistem pelatihan dan pendidikan belum cukup responsif.
Oleh karena itu, Shinta menekankan:
Dengan pendekatan ini, ia menilai bahwa persoalan pengangguran struktural dapat diminimalkan secara bertahap.
Sementara itu, Anies Baswedan menyoroti isu pengangguran dari perspektif kebijakan publik dan keadilan sosial. Ia mengkritik bahwa meskipun angka pengangguran terlihat menurun dalam statistik resmi, kenyataan di lapangan menunjukkan tingginya fenomena setengah menganggur dan pekerja informal berpenghasilan rendah.
Bagi Anies, masalah utamanya bukan sekadar jumlah lapangan kerja, tetapi kualitas pekerjaan dan kesetaraan akses terhadap lapangan kerja yang layak. Menurutnya, kebijakan harus berpihak pada mereka yang secara struktural tertinggal: lulusan non-vokasi, pekerja informal, dan masyarakat di wilayah yang tidak tersentuh industrialisasi.
Ia menekankan bahwa kebijakan pengurangan pengangguran harus mencakup:
Meski dari sudut pandang berbeda, keduanya berhimpun dalam satu kesimpulan penting: pengangguran di Indonesia adalah masalah struktural yang tidak cukup diselesaikan dengan penciptaan lapangan kerja biasa. Perlu intervensi pada sistem pendidikan, kebijakan industri, hingga mekanisme pemerataan ekonomi.
Shinta mendorong adaptasi industri dan tenaga kerja, sedangkan Anies menuntut agar adaptasi tersebut berjalan secara adil dan merata.
Melalui pandangan Shinta Kamdani dan Anies Baswedan, kita memahami bahwa pengangguran struktural bukan hanya masalah “tidak ada pekerjaan”, tetapi lebih dalam dari itu—tentang struktur ekonomi yang berubah lebih cepat daripada kesiapan manusianya. Dalam konteks ini, peran negara, dunia usaha, pendidikan, dan keadilan sosial menjadi satu kesatuan yang harus bergerak bersama.
Jika akar struktural tidak diatasi, maka angka pengangguran mungkin turun di atas kertas, namun meningkat dalam kenyataan sosial.
Latihan Soal TOEFL: Cara Efektif Meningkatkan Skor Reading
by Admin 20 Mar 2025