KPU real count masih berlangsung, isu kecurangan pemilu masih terus berembus. Media sosial diramaikan dengan seruan untuk kawal pemilu sejak sebelum pemilu hingga penghitungan suara berlangsung.
Seruan semacam “siapapun yang menang pasti dikatain curang” atau “kalau kalah ya kalah saja, terima saja” ada di mana-mana, ditujukan kepada para pendukung paslon yang kehilangan suara di quick count.
Padahal keriuhan yang terjadi bukan sekadar rasa tidak terima kekalahan. Tentunya siapapun itu tidak suka dicurangi dan berharap segala bentuk kecurangan itu dibongkar dan peghitungan suara yang jujur dan adillah yang bisa menyelamatkan bangsa ini di masa depan. Karena optimistis layak diperjuangkan demi perubahan ke arah yang lebih baik.
Usaha menyelamatkan bangsa ini dari kecurangan sebelum pemilu telah dilakukan beberapa pihak, salah satunya melalui film Dirty Vote yang dirilis oleh rumah produksi WatchDoc pada 11 Februari 2024.
Film yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono yang juga sutradara film dokumenter Sexy Killers tahun 2019 ini menyoroti dugaan praktik curang jelang Pemilu 2024. Belum sepekan dirilis, film ini telah meraup lebih dari 9 juta tayangan.
Film dokumenter ini menampilkan tiga akademisi hukum yang menjelaskan bagaimana instrumen kekuasaan negara digunakan untuk memenangkan pemilu meskipun dampaknya merusak tatanan demokrasi. Di dalam film ini disebutkan bahwa Presiden Joko Widodo telah menggunakan dana negara untuk mendukung kampanye capres Prabowo Subianto.
Singkatnya, film Dirty Vote membeberkan hasil riset terhadap kecurangan-kecurangan pemilu dari tahun ke tahun. Tiga pakar hukum yang berperan memaparkan bukti dalam film ini adalah Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M. dari Universitas Andalas, Bivitri Susanti, S.H., LL.M. dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, dan pakar hukum UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M.
Sepanjang durasi 1 jam 57 menit, melalui film ini penonton mendapatkan bukti fenomena politik yang terjadi jelang pemilu. Mulai dari ketidaknetralan pemerintah, anggaran dan penyaluran bansos, pelanggaran etik, dan lain-lain.
Dalam Dirty Vote disebutkan bahwa sejak 2021, Jokowi telah menunjuk pejabat (PJ) gubernur, wali kota, dan bupati di banyak provinsi dari ujung Sumatera hingga ujung Papua. Presiden begitu besar pengaruhnya dalam penunjukan PJ ini yang mana penunjukan dan pengangkatan sebenarnya tidak mematuhi keputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).
MK menentukan bahwa proses penunjukan pejabat harus dilakukan secara terbuka, transparan. Mereka harus mendengarkan aspirasi pemerintah daerah dan masyarakat daerah sekaligus taat pembentukan peraturan teknisnya agar penunjukan itu dapat berlangsung dengan fair. Sebab itulah karena ini melanggar keputusan MK, Komisi Informasi Pusat dan Ombudsman RI menyatakan bahwa penunjukan pejabat itu telah melakukan mala administrasi (Dirty Vote).
140 juta suara dari ke-20 wilayah itu ekuivalen dengan lebih dari 50% pemilih. Dengan potensi suara sebanyak itu, berbagai cara dilakukan dalam penetapan PJ kepala daerah di seluruh Indonesia. Upaya kecurangan kemudian dilakukan terang-terangan. Tanpa malu-malu Pj Gubernur Kalbar berorasi, mengajak warga untuk memilih gubernur yang memihak kelanjutan pembangunan IKN.
Selain itu, Pj Gubernur Bali memberi instruksi untuk mencopot spanduk dan poster kampanye dari partai tertentu. Sikap-sikap tidak netral juga terjadi secara terang-terangan di kalangan Pj bupati dan wali kota. Sebuah tayangan video memperlihatkan bagaimana Pj Bupati Muna Barat, Sulawesi Tenggara mengampanyekan paslon 03.
Mobilisasi juga terjadi terang-terangan dengan iming-iming penambahan dana desa dan masa jabatan kepala desa. Koran.tempo.co mengulas bagaimana organisasi Desa Bersatu bertekad memenangkan Prabowo-Gibran di 53.000 desa. Pada tanggal 3 Februari lalu, ratusan kepala desa dan perangkat desa di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah berkumpul di sebuah restoran di Kecamatan Parakan, Temanggung dan menggelar rapat koordinasi untuk memenangkan paslon 02.
Perlu diketahui, wewenang kepala daerah sangat besar, yaitu memobilisasi birokrasi, pemberian izin kampanye, dan membiarkan ataupun memberi sanksi kepada kepala desa yang tidak netral. Sedangkan wewenang kepala desa begitu menggoda karena berpotensi kecurangan pada data pemilih, penggunaan dana desa, data penerima bansos, PKH, BLT, dan wewenang alokasi bansos. Maka dari itu, “penggalangan kekuatan bersama” dengan menekan kepala desa dilakukan untuk sejumlah alasan.
Bawaslu RI sepanjang tahun 2024 ini telah menangani lebih dari 1.000 pelanggaran pemilu, terbanyak merupakan pelanggaran kode etik. Kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan KPU dan ASN juga menjadi variannya.
Bentuk-bentuk pelanggaran kode etik di antaranya: KPU melakukan rekrutmen penyelenggara tidak sesuai dengan prosedur, KPU Provinsi melakukan penerimaan penyerahan dukungan pemilih DPD tidak sesuai ketentuan, KPU melakukan verifikasi faktual keanggotaan partai politik tidak sesuai ketentuan, Panwascam melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu, PPS tidak netral atau menunjukkan keberpihakan kepada peserta pemilu, ASN menggunakan atribut peserta pemilu, dan ASN mengajak atau mengintimidasi untuk mendukung salah satu peserta pemilu.
Bahkan Bawaslu pun tidak lepas dari pelanggaran kode etik. Bulan Desember lalu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi peringatan terhadap Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja sebab terbukti melakukan serentetan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Politisasi Bansos dilakukan sejumlah menteri, di antaranya Zulkifli Hasan dan Airlangga Hartarto dengan mengaitkan nama Jokowi dengan bansos di depan masyarakat. Baru bulan Januari, nominal bansos yang disalurkan sudah mencapai 78,06 triliun rupiah dan direncanakan akan disalurkan 508 triliun sepanjang 2024 ini. Anggaran bansos ini berlebihan, melebihi yang dikeluarkan ketika covid.
Sayang sekali karena bansos bukan untuk kepentingan politik atau merebut hati rakyat jelang pemilu. Bansos merupakan cara cepat dalam mengatasi masalah besar di negara ini yang dilakukan berdasarkan struktur negara dan tidak perlu diberikan langsung oleh presiden atau menteri yang bukan Menteri Sosial.
Menjadi sebuah ironi memang, ketika kecurangan dilakukan oleh pengawas dan petinggi negara. Sebagaimana ironinya MK diperalat oleh Jokowi melalui Hakim MK Anwar Usman untuk meloloskan putranya sebagai calon wakil presiden.
Masihkah Ada Harapan?
‘Keberanian itu menular,” ungkap Bivitri Susanti, salah satu aktor dalam Dirty Vote di sela-sela Aksi Kamisan ke-805 dilaksanakan di seberang Istana Merdeka pada tanggal 15 Februari 2024. Dirinya tak gentar meski menjadi salah satu pemeran Dirty Vote yang dilaporkan Forum Komunikasi Santri Indonesia (Foksi) ke Badan Reserse Kriminal Polri dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu atau Sentra Gakkumdu.
Foksi melaporkan dugaan pelanggaran pemilu dan bersifat tendensius terhadap calon lain terhadap sutradara film dokumenter Dirty Vote (Dandhy Laksono) beserta tiga akademisi dalam film tersebut (Feri Amsari, Zainal Arifin Mochtar, dan Bivitri Susanti).
Bivitri, dalam Aksi Kamisan mengajak kaum muda untuk tidak takut menyuarakan kebenaran karena politik yang dijalankan sekarang adalah politik ketakutan dan sesungguhnya yang melakukan “pesta demokrasi” hanyalah para elite politik.
Jika resah dengan kecurangan-kecurangan yang terjadi, Anda tak sendiri. Sejumlah masyarakat sipil melakukan gerakan menyuarakan keresahan terhadap aneka pelanggaran yang terjadi, contohnya para akademisi dan mahasiswa dari berbagai kampus.
Ada juga yang berkoalisi, contohnya dalam wadah kecuranganpemilu.com yang mengawal penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024. Kecuranganpemilu.com dikelola secara kolektif oleh Yayasan Dewi Keadilan Indonesia, Firma Hukum Themis Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Indonesian Corruption Watch (ICW), Drone Emprit, dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok masyarakat sipil di Indonesia.
Selain website tersebut, ada juga website jagasuaramu.id, platform Warga Jaga Suara di Google Play Store, atau kawalpemilu.org. Sembari terus cek hasil pemilu, mari kawal terus penghitungan suara dan tegakkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan bersama-sama. Barangkali gerakan baik yang dilakukan sekarang merupakan cikal-bakal kecurangan-kecurangan tak terjadi lagi 5 tahun kemudian. Masih ada harapan pemilu dua putaran!